Jumat, 18 Maret 2011

Mahasiswa dan Cita-Cita Demokrasi

Mahasiswa dan Cita-Cita Demokrasi
Oleh Imam Wahyudi

Mahasiswa dan Demokratisasi Kampus
Seorang tokoh, Al- Chaidar dalam bukunya Reformasi Prematur pernah mengatakan bahwa, “MAHASISWA adalah sebuah struktur unik dalam tatanan masyarakat, politik maupun budaya. Mahasiswa adalah sentra sebuah peradaban, karena mereka adalah kumpulan pahlawan dan calon pahlawan, kumpulan ilmuwan dan calon ilmuwan, kumpulan negarawan dan calon negarawan, kumpulan perwira dan calon jendral. Dan karena mereka adalah kumpulan guru dan calon guru maka mahasiswa adalah segala-galanya.” Sangat gamblang bahwa ungkapan ini secara konteks kepemimpinan, maka peran dan fungsi besar Mahasiswa adalah sebagai Iron Stock, dimana Mahasiswa merupakan calon-calon pemimpin masa depan yang menjadi asset berharga suatu negeri yang perlu dipelihara supaya tumbuh berkualitas dan berkembang menjadi bunga-bunga bangsa. Karya-karya besar sudah banyak ditorehkan oleh para Mahasiswa dalam meluruskan arah perjalanan bangsanya.
Sistem otonomi daerah yang direalisasikan Negara merupakan implikasi dari sistem organisasi kemahasiswaan yang diatur secara desentralisasi, dan hal ini terlihat dari sistem pemerinthan mahasiswa di tingkat Universitas dan Fakultas. Hanya saja untuk kampus Universitas Tanjungura memakai pola negara Federasi di mana BEM Untan sebagai negara federal, sedang BEM-BEM Fakultas sebagai negara bagiannya. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung oleh rakyat pun merupakan hasil perjuangan Mahasiswa yang menjadi buah dari inisiatif para Mahasiswa yang berawal dari pemilihan langsung Presiden Mahasiswa. Selain itu, Pemilu sebagai wujud sistem demokrasi dalam mekanisme penyelenggaraan Negara pun berawal dari penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan dengan mekanisme demokrasi. Maka sudah selayaknya kehidupan demokratisasi kampus menjadi suatu kultur yang mengakar disetiap diri Mahasiswa.
Kampus Negara Kecill
Kampus laksana sebuah Negara kecil yang lengkap dengan sistem pemerintahannya sendiri, maka sudah tidak asing lagi ketika mendengar istilah Presiden Mahasiswa, Menteri Departemen Mahasiswa, Kabinet Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Badan Legislatif Mahasiswa/Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan lain-lain. Sedangkan dalam alam demokrasi kampus, kita juga tidak asing dengan istilah Pemilu/Pemirama (Pemilihan Raya Mahasiswa), KPU/KPRM (komisi pemiihan raya mahasiswa), Panwaslu/Panwasram (panitia pengawas pemirama), KPPS/PPS (panitia pemungutan suara), Pemantau, Partai mahasiswa dan perangkat lainnya. Hal ini merupakan pembelajaran politik bagi para iron stock negeri ini sebelum mewarisi tanah airnya. Namun untuk menghidupkan Negara kecil itu dengan sistem pemerintahannya tidak akan bisa berjalan secara signifikan tanpa partisipasi dan legitimasi dari seluruh elemen kampus.
Dalam menikmati demokrasi kampus untuk menghidupkan Negara kecil itu yang terkhusus dalam hal ini adalah Pemirama, maka harus ada aspek-aspek penetrasi kekuasaan yang berawal dari penguasaan wacana publik, dimana seluruh masyarakat kampus yang terkait paham akan proses dan output dalam memainkan perpolitikan kampus serta adanya dukungan dan partisipasi didalamnya. Dan yang kedua harus diformulasikan wacana itu dalam draf hukum secara lengkap untuk dimenangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga legislatif kampus yang terkait. Lalu yang terakhir dipastikan wacana legislasi itu dilaksanakan dan diterapkan dengan sempurna oleh DPM atau tim penyelenggara serta mendapatkan dukungan besar dari birokrasi kampus. Dan senantiasa harus melakukan evaluasi yang intens ditengah dan akhir perjalanan Pemirama. Pemirama merupakan proses demokrasi kampus yang perlu mendapatkan dukungan proaktif dari seluruh masyarakat kampus, maka kondisi perpolitikan dan mekanismenya pun harus lebih demokratis lagi sebagai konsekuensi dari makna intelektualitasnya. Walaupun dalam prosesnya dengan segala kebaikan demokrasi pasti akan mungkin terjadi juga berbagai keburukannya. Karena tidak semua pihak dalam proses Pemirama memiliki pemahaman, kesepakatan tujuan atau kepentingan yang sama, bahkan yang sering terjadi adalah memanfaatkan Pemirama ini untuk kepentingan individu atau kelompoknya.
Dalam Pemirama, sistem kepartaian Mahasiswa dianggap lebih bisa memperjuangakan segenap aspirasi Mahasiswa dan tentu saja bisa menjadi sumber pendidikan politik bagi anggotanya dan Mahasiswa secara umum agar menjadi Mahasiswa yang sadar akan hak dan kewajibannya. Karena partai Mahasiswa ini diharapkan bisa menjadi penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik Mahasiswa secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan institusi kampus, dan merupakan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik institusi kampus melalui mekanisme demokrasi. Meskiun dalam realitanya, sistem kepartaian ini baru digunakan dalam pemirama tingkat universitas, dan tahun 2009 adalah tahun kedua sistem kepartaian digunakan, dan masih belum siap untuk digunakan pada seluruh tingkat fakultas kecuali beberapa kampus saja, misanya FISIP Untan. Dengan dinamika seperti inilah, gerakan mahasiswa dikatakan sebagai “Pilar ke-5 Demokrasi” selain eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers sebagai simbolisasi informasi. ( Hariman Siregar, Gerakan mahasiswa : Pilar ke-5 Demokrasi ).

Dinamika Pemilu Legislatif
Pada 9 April 2009 lalu bangsa Indonesia telah bersama-sama menikmati pesta demokrai. Pemilu kali ini bisa di katakan lebih meriah dengan indikasi pada jumlah partai peserta pemilu yang mencapai 38 partai nasional dan 6 partai utusan daerah dibanding pemilu 2004 lalu dimana jumlah partai hanya 24 parpol. Pesta ini merupakan moment yang sangat “sakral” untuk mencari sosok-sosok wakil rakyat baik DPD, DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi maupun DPR RI untuk membawa negara ini pada perubahan yang signifikan diseluruh sektor dan sendi kehidupan masyarakat Indonesia umumnya dan Kalbar pada khususnya. Inilah moment pesta demokrasi akbar yang telah dilaksanakan serentak diseluruh daerah di Indonesia yang akan menentukan masa depan bangsa. Sejatinya pemilu adalah pesta yang dapat dirasakan oleh seluruh segenab penduduk negeri ini, meskipun dalam kenyataannya, menurut beberapa lembaga survei jumlah golput lebih dari 40%. Baik golput secara administrasi maupun golput ideologi. Angka yang cukup fenomenal. Belakangan banyak para tokoh politik nasional yang memvonis pemilu 2009 sebagai pemilu terburuk sejak masa reformasi. Baik KPU Pusat maupun daerah jadi bulan-bulanan para saksi partai maupun para caleg. Pemasalahan yang paling mencolok adalah carut marutnya daftar pemilih tetap (DPT), pendistribusian surat suara yang tertukar pada daerah pemilihan tertentu, KPPS yang kurang memahami kerjanya dan paraktik intimidasi dan maoney politik dari oknum partai maupun calon legislatif serta berbagai permasalahan lain yang terus di ekspos oleh barbagai media cetak dan elektronik, baik daerah maupun nasional. Harapan besar segala permasalahan pemilu legislatif 2009 menjadi pelajaran berharga bagi para penggrap pemilu, sehingga akan ada perubahan yang signifikan pada mekanisme penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden 8 Juli 2009 mendatang.
Pasca pilleg (pemilu legislatif) 2009 suhu politik kian memanas. Manufer-manufer politik dari berbagai partai politik makin mendinamika. Partai politik mulai membangun koalisi untuk memenuhi quota 20 % kursi di DPR atau 25 % suara sah secara nasional hasil pemilu sebagai syarat mengajukan calon Presiden-wakil presiden dalam laga Pilpres 8 Juli mendatang. Hasil quick qount (perhitungan cepat ) dari berbagai lembaga survei juga membantu parati-partai besar untuk segera menentukan pilihan ”teman” koalisinya. Sebagian partai ada yang merapat ke partai enkamben, Demokrat (partai penguasa pemerintahan), sebagian ada yang merapat kepartai oposan, PDIP (partai oposisi pemerintahan) dan sebagian yang lain membangun koalisi antar partai-partai kecil. Masing-masing partai besar juga sudah mengajukan nama capresnya, seperti Partai Demkrat dengan SBY nya dan PDIP dengan Mega nya, sedangkan Partai Golkar yang pada awalnya masih terkesan seperti kurang PD (percaya diri) untuk dengan tegas mengajukan nama capresnya. Tarik ulur kesepakatan antara mengajukan capres atau cawapres menjadi perdebatan panjang di internal partai. Meskipun pada akhirnya Golkar mengusung JK sebagai capres sekaligus sebagai partai pertama yang telah menentukan pasangannya, yaitu Wiranto dari Hanura. Demokrat dan PDIP sendiri hingga pekan ke empat pasca pemilu belum juga menentukan pasangan dari masing-masing capresnya. Hal ini semakin menarik perhatian media untuk memeta-metakan pasangan capres-cawapres partai-partai tersebut.
Terlepas dari pembicaraan koalisi partai dengan dinamikanya, tentunya banyak kalangan sepakat bahwa masyarakat menaruh harapan besar pada para aktor demokrasi atau elit politik negeri ini agar lebih mengutamakan hak-hak rakyat sesuai amanah Undang-Undang Dasar 1945, bukan justru sibuk dengan urusannya sendiri dan kelompoknya atau bahkan ”berpragmatis ria” menggunakan jabatan untuk menyengsarakan rakyat. Sehingga koalisi yang dibangaun adalah koalisi yang bertujuan untuk mewujkan kesejahteraan rakyat dan membawa perubahan yang besar menuju perbaikan bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Dinamika Pemirama Untan
Sepertihalnya pemilu legislatif, Universutas Tanjungpura juga menyelenggarakan pesta demokrasi, yaitu Pemirama Untan 2009. Berbeda dengan Pemirama tahun lalu, yang hanya di ikuti oleh 3 partai peserta pemirama yaitu Partai Intelektual Sejahtera (PIS), Partai Republik Mahasiswa (PRM) dan Partai Harapan Utama Mahasiswa (HARUM). Pemirama Untan 23 Maret 2009 lalu diikuti oleh 5 partai peserta Pemirama yaitu Partai Intelektual Sejahtera (PIS), Partai Republik Mahasiswa (PRM), Partai Harapan Utama Mahasiswa (HARUM), Partai Lingkar Kampus (PLK) dan Partai Nasionalis Mahasiswa (PNM). Pemirama Untan 2009 dimeriahkan oleh tiga pasang calon kandidat. Sedangkan hasil perhitungan menunjukkan kandidat nomor satu (Adit-Riza) jumlah suara 1.200, kandidat nomor dua (Andre-Karsina) jumlah suara 400 dan kandiat nomor tiga (Sutami-Anca) dengan jumlah suara 600.
Pemirama Untan 2009 bisa dikatakan berjalan dengan baik, meskipun menyisakkan sebuah pelajaran yang sangat berharga dengan segala permasalahannya. Selain adanya disorientasi kepentingan dari oknum mahasiswa terhadap proses Pemirama, ada beberapa penghambat pelaksanaan Pemirama seperti hambatan birokrasi, yang tidak sepenuhnya mendukung pelaksanaan Pemirama dengan berbagai pertimbangan. Hambatan lainnya datang juga dari dominasi gerakan Mahasiswa yang mengundur-undur agenda Pemirama karena mereka kehabisan stok kader pemimpin yang akan mengikuti pecaturan politik kampus. Selain itu praktek-praktek intimidasi dan premanisme juga masih mewarnai pesta demokrasi Untan.
Kemudian permasalahan KPRM pun tak luput diangkat, mulai dari komposisi utusan KPRM, SK yang di perlambat terbit, keputusan KPRM yang terkadang inkonstitusi dan tidak tegas hingga terjadinya ”tragedi” pembekuan 800 suara sah FKIP secara sepihak, banyaknya mahasiswa yang menjadi korban golput secara administrasi karena waktu pemungutan suara yang tidak sesuai dengan jumlah pemilih atau karena surat suara yang kurang di beberapa fakultas, sampai adanya oknum KPRM yang kurang bisa menjaga independensi kerjanya dan bahkan berupaya menghambat jalannya Pemirama. Dampaknya adalah adanya upaya untuk mendemarketing dan membubarkan KPRM atau menggagalkan Pemirama. Jadi yang diperlukan disini adalah konsistensi dari DPM untuk mengoptimalkan pelaksanaan Pemirama sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan. Karena optimalisasi keterlibatan Mahasiswa dalam Pemira berawal dari keseriusan DPM dalam memaksimalkan rencana strategisnya.
Pesta Demokrasi FKIP Untan
Pada tanggal 12 Mei 2009, Mahasiswa FKIP Untan menikmati pesta demokrasinya kembali dengan memilih presiden dan wakil presiden BEM FKIP Untan secara langsung, serta DPM FKIP Untan dengan mekanisme utusan HIMA dan UKM. Meski belum menggunakan system kepartaian, setidaknya dua kandididat yang dinyatakan lulus verifikasi oleh KPRM ini mampu menciptakan dinamika politik kampus dengan tim-tim suksesnya, dan ini menjadi inisiatif cerdas untuk menghidupkan perpolitikan fakultas Berbeda dengan periode sebelumnya (08-09) dimana presma-wapresma ”naik” secara aklamasi karena kandidat tunggal, maka pemirama kali ini (09-10) di meriahkan oleh dua kandidat, sehingga masyarakat FKIP akan menikmati kembali pesta demokrasi sesunguhnya. Mahasiswa FKIP kembali dapat menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin pemerintahan mahasiswa kedepan. Pesta ini sekaligus menjawab kekecewaan masyarakat FKIP atas tragedi terburuk pada pemirama Untan atas pembekuan 800 suara sah FKIP karena kepentingan oknum yang tidak bertanggungjawab. Sesuatu hal yang mungkin terjadi juga bahwa Pemirama ini akan menjadi guru bagi masyarakat umum. Berawal dari konsistensi DPM, pelaksanaan Pemirama akan berjalan dengan lancar. Karena hal ini sebagai magnet awal untuk menarik partisipasi aktif dari seluruh Mahasiswa dan para birokrasi Fakultas, selain itu kesuksesan Pemirama kuncinya berada pada dukungan seluruh Mahasiswa dan birokrasi fakultas dengan optimalisasi penguasaan wacana publik oleh para penggerak Pemirama.
Agenda besar ini harus diinternalisasikan dan diyakinkan kepada setiap himpunan program studi, unit kegiatan mahasiswa dan seluruh Mahasiswanya agar mengikuti dan kritis terhadap pelaksanaan Pemirama, termasuk Mahasiswa juga harus cerdas dalam memilih pemimpinnya agar tidak asal-asalan, dan harus dilandasi atas kesadaran dan pemahamannya terhadap sosok calon pemimpin yang dipilihnya, dan tidak berdasarkan atas kepentingan personal atau kelompok tertentu. Pemimpin yang bersih, berkualitas dan pro Mahasiswa merupakan karakter sosok pemimpin yang menjadi harapan bersama. Bersih perilakunya yang selalu mengedepankan akhlak terpuji, jujur dalam bergerak, dan setia pada idealismenya, lalu berkualitas yang berarti memiliki kompetensi baik dalam akademik dan keorganisasiannya serta strategi-strategi dalam membangunnya. Dan harus pro Mahasiswa, dimana dia mampu memahami dan merasakan segala permasalahan dan kebutuhan Mahasiswa, serta selalu ikhlas dalam memperjuangkan aspirasi Mahasiswa dan tidak terjebak pada penyakit pragmatis negatif yang mau bersikap mau bekarya kalau ada imbalannya.
Selain fungsi pelayanan, kedepan BEM FKIP Untan juga perlu mengoptimalkan peran pencerdasan politik mahasiswa. Kemudian yang tidak kalah pentinng adalah bagaimana BEM mampu menjadi inisiator bagi himpunan mahasiswa untuk mengoptimalkan peran akademi profesi sesuai bidang keilmunya. Kita berharap dengan peran ini akan melahirkan pemimpin bangsa yang mampu menjawab permasalahan bangsa yang kian kompleks dan sulit di berbagai sektor dengan kemampuan dan kapasitas sesuai dengan basic keilmuannya.
Catatan Penting Pesta Demokrasi Mahasiswa
Menurut Wayan Sohib dalam ayat-ayat demokrasi kampus, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para aktor demokrasi kampus dalam malaksanakan Pemirama agar bisa menjadi guru bagi masyarakat umum.
Pertama, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat kampus sejak dini, agar Mahasiswa ”kupu-kupu” (kuliah-pulang kuliah-pulang) atau Mahasiswa ”kura-kura” (kuliah-rapat kuliah-rapat) tidak menjadi karakter bagi setiap diri anak kampus, serta supaya mereka cerdas berpolitik, memiliki prinsip dan ideologi sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini pencerdasan yang dapat dilakukan adalah terkait dengan undang-undang KPRM (komisi pemilu raya mahasiswa), utusan anggota KPRM hingga peng SK anya. Kemudian tahapan pemirama hingga SK penetapan pemenangnya serta Sidang Umum (SU) Keluarga Besar Mahasiswa Untan sebagi pertanggungjawaban kepengurusan BEM untan kepada seluruh masyarakat kampus Untan.
Kedua, membuat sistem administrasi Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa yang valid, lengkap, terpadu, efektif dan efisien. Mulai dari pendataan total jumlah Mahasiswa (pemilih), persyaratannya, pelaksanaan hari-H, sampai administrasi evaluasi pasca pemilihan hingga penetapan pemenang Pemirama. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan KPRM adalah penguasaan terhadap materi undang-undang Pemirama.
Ketiga, membentuk panitia pengawas independen, pemantau independen dan mengkondisikan partisipasi masyarakat kampus yang aktif untuk meminimalisir berbagai kecurangan dan menjadikan kampus sebagai prototype pencerdasan politik masyarakat dengan fair play.
Keempat, menghindari money politic, premanisme, violasi politik, ghost voter dan kecurangan-kecurangan politik lainnya untuk menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak menyerang Mahasiswa.
Kelima, Pembuatan sistem evaluasi terukur, reliable, accountable dan transparan. Tidak hanya pemenang saja yang menjadi laporan akhir dalam evaluasinya, akan tetapi pengeluaran dana juga menjadi bahan evaluasi oleh Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa dan para kontestannya, jumlah pemilih dan total Mahasiswanya, rasionya, dan lain-lain. Hal ini merupakan konsekuensi logis Mahasiswa yang harus tetap memiliki sikap kritis dan menjadi guru untuk masyarakat dengan bisa menelusuri permasalahan sampai keakar-akarnya.
Catatan Pribadi
Dari berbagai rangkaian pesta demokrasi yang panjang di atas tentunya akan banyak pelajaran yang dapat diabadikan menuju pendewasaan dan pencerdasan masyarakat akan hak dan kewajibanya terhadap negeri ini. Sejatinya demokrasi adalah sistem atau alat negara untuk mencapai kesejahteraannya. Ketika alat ini tidak juga membuahkan hasil atas cita-cita yang diharapkan, maka yang menjadi evaliuasi besar kita adalah apakah sistem/ alat ini yang salah atau pelaku/pengguna alat ini yang belum siap ”mengoperasikannya”. Jawaban ada pada orang-orang bijak dan orang-orang yang punya komitmen untuk terus berkontribusi baik sendiri maupun bersama mempersembahkan yang terbaik untuk negeri ini, mereka terus berjuang dan tak kenal kata henti, mereka yang punya keyakinan yang mendalam dan optimisme yang menggelora, mereka yang punya idealisme besar dan cita-cita yang agung untuk merekonstruksi negeri ini menuju negeri yang madani.
Penulis, Presma BEM FKIP Untan Masa Perjuangan 2008 – 2009.
(catatan: tulisan nie waktu masih jadi ket.BEM)

0 komentar: